Jumat, 06 September 2013

PERJUANGAN MELEPAS JATI DIRI SEMU



Oleh: I Made darmayasa W.,S.S*

Judul ini terinspirasi dari tulisan Rini Kustiasih yang dimuat dalam harian Kompas tanggal 21 November 2012, yang berjudul: “Seren Taun” Kependudukan Perjuangan Melepas Jati Diri yang Semu. Tulisan tersebut membuat saya bertanya apa sebenarnya jati diri komunitas Akur atau jati diri bangsa Indonesia pada umumnya?
Akur adalah sebuah komunitas di Kampung Cigugur kabupaten Kuningan Jawa Barat, yang berjumlah sekitar 2.000 warga. Baru-baru ini komunitas ini melaksanakan acara ‘Seren Taun yaitu sebuah acara sebagai wujud rasa syukur masyarakat atas hasil panen yang berlimpah. Kegiatan ini pernah dilarang pada masa Orde Baru sejak tahun 1982 – 1999 karena dianggap sebagai kegiatan keagamaan yang menyimpang dan dianggap sesat. Kegiatan serupa sebenarnya banyak terdapat di daerah lain di Indonesia.
Apa yang dimagsud jati diri semu dalam tulisan tersebut adalah identitas warga Akur sebagai pemeluk salah satu agama seperti yang tercantum dalam KTP mereka, sebenarnya tidak sesuai dengan hati nurani mereka. Disebutka pula oleh Rini Kustiasih bahwa Ningsih (51) tercatat sebagai penganut agama Protestan tetapi ajaran Protestan sama sekali tidak terinternalisasi dalam dirinya. Demikian juga Karsih (57) ber-KTP Islam tetapi sejak kecil hingga dewasa tidak menyerap ajaran Islam. Lalu kenapa pada KTP mereka tercantum agama tersebut? Semuanya berawal dari tahun 1960-an; seiring dengan politik Negara yang kian memanas, warga komunitas Akur dipaksa memilih salah satu dari lima agama yang diakui oleh Negara saat itu. Hal yang sama juga terjadi di Banyuwangi seperti yang terungkap dalam acara bedah buku karya searang Doktor dari UGM: Sri Margana; Ujung Timur Jawa 1763 – 1813: Perebutan Hegemoni Blambangan, yang di laksanakan oleh Prodi Sejarah FIB UGM. Disebutkan bahwa Kompeni berkolaborasi dengan kekuatan Islam mengebiri kekuasaan Hindu dengan menciftakan system administrasi yang baru. Terungkap juga bahwa banyak penduduk Banyuwangi yang dipaksa untuk memeluk agama Islam yang didukung oleh Sultan Agung untuk menciftakan dunia Islam diseluruh pulau Jawa.
Lebih dari seabad yang lalu ditahun 1900 – 1908 seorang tokoh yang bernama Kiai Madrais di buang oleh pemerintah kolonial Belanda ke Tanah Abang Papua karena tuduhan mengembangkan ajaran sesat. Ajaran Madrais sebenarnya mengutamakan ciri kepribadian orang sunda yang welas asih, hidup selaras dengan alam, bertata krama, dan berbudi pekerti yang baik. Nilai-nilai masyarakat agraris bertentangan dengan nilai eksploitatif dan diskriminatif yang diusung Belanda (Kustiasih: 2012). Pengikut Madrais menentang kebijakan sistem tanam paksa di Cirebon kala itu. Hal ini membuat berang pemerintah Belanda yang berujung pada pembuangan terhadap penyebar ajaran Madrais yaitu seorang tokoh kharismatik Kiai Madrais.
Kembali kepersoalan jati diri, banyak orang yang mengatakan bahwa Bangsa Indonesia telah kehilangan jati dirinya. Jika hal ini benar kita sebagai warga Negara mesti mencari dan menemukan jati diri Bangsa yang sebenarnya dan melepas jati diri kita yang semu. Pertanyaannya kemudian adalah seperti apa jati diri Bangsa Indonesia yang sebenarnya? Pencarian jati diri ini mungkin bisa dirunut dari sejarah sejak kapan kita kehilangan jati diri Bangsa. Bila mengacu pada pernyataan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki jati diri, maka jelas bahwa kita kehilangan jati diri sejak bangsa kita tidak lagi besar, tidak lagi dikagumi bangsa lain atau bahkan oleh rakyatnya sendiri. Satu-satunya masa kejayaan Nusantara adalah pada masa kerajaan Majapahit. Saat itulah bangsa kita benar-benar memiliki jati diri. Namun sejak runtuhnya Majapahit, jati diri Bangsa mulai memudar. Masa ini dalam Dwijendra Tatwa disebut sebagai dimulainya zaman Kaliyuga di Nusantara. Perlawanan Dang Hyang Dwijendra (Seorang putra Rohaniawan di Kerajaan Majapahit) melawan perubahan zaman memaksa ia harus meninggalkan tanah Jawa (yang mulai meninggalkan kebudayaan sendiri dan meniru budaya bangsa lain), dan mempertahankan tradisi dan budaya leluhur di pulau Bali dan sebagian di Lombok.
Jati diri Bangsa kalau dilihat pada zaman Majapahit adalah Bangsa yang tidak membedakan rakyat apakah ia pemuja Siwa ataupun Budha, tidak ada agama yang sesat. Sebuah bangsa yang menjungjung tinggi tradisi luhur bangsa yang dijiwai ajaran Bagawad Gita bahwa bila tradisi telah ditinggalkan maka kehancuran pasti akan segera datang. Bentuk-bentuk perjuangan melepaskan jati diri semu seperti menghidupkan kembali tradisi Seren Taun, Aruh, Ngusaba, serta tradisi lainnya di berbagai daerah di Indonesia merupakan fenomena kebangkitan kembali masa-masa kejayaan Majapahit yang diiringi dengan ditemukannya kembali candi-candi dan bukti peninggalan sejarah lainnya di tanah Jawa juga Sumatra dan Kalimantan.
*( Mahasiswa PascaSarjana UGM)