Oleh: I Made darmayasa W.,S.S*
Judul ini terinspirasi
dari tulisan Rini Kustiasih yang dimuat dalam harian Kompas tanggal 21 November
2012, yang berjudul: “Seren Taun”
Kependudukan Perjuangan Melepas Jati Diri yang Semu. Tulisan tersebut
membuat saya bertanya apa sebenarnya jati diri komunitas Akur atau jati diri bangsa Indonesia pada umumnya?
Akur
adalah sebuah komunitas di Kampung Cigugur kabupaten Kuningan Jawa Barat, yang
berjumlah sekitar 2.000 warga. Baru-baru ini komunitas ini melaksanakan acara ‘Seren Taun’
yaitu sebuah acara sebagai wujud rasa syukur masyarakat atas hasil panen yang
berlimpah. Kegiatan ini pernah dilarang pada masa Orde Baru sejak tahun 1982 –
1999 karena dianggap sebagai kegiatan keagamaan yang menyimpang dan dianggap
sesat. Kegiatan serupa sebenarnya banyak terdapat di daerah lain di Indonesia.
Apa yang dimagsud jati
diri semu dalam tulisan tersebut adalah identitas warga Akur sebagai pemeluk salah satu agama seperti yang tercantum dalam
KTP mereka, sebenarnya tidak sesuai dengan hati nurani mereka. Disebutka pula
oleh Rini Kustiasih bahwa Ningsih (51) tercatat sebagai penganut agama
Protestan tetapi ajaran Protestan sama sekali tidak terinternalisasi dalam
dirinya. Demikian juga Karsih (57) ber-KTP Islam tetapi sejak kecil hingga
dewasa tidak menyerap ajaran Islam. Lalu kenapa pada KTP mereka tercantum agama
tersebut? Semuanya berawal dari tahun 1960-an; seiring dengan politik Negara
yang kian memanas, warga komunitas Akur
dipaksa memilih salah satu dari lima agama yang diakui oleh Negara saat itu.
Hal yang sama juga terjadi di Banyuwangi seperti yang terungkap dalam acara
bedah buku karya searang Doktor dari UGM: Sri Margana; Ujung Timur Jawa 1763 – 1813: Perebutan Hegemoni Blambangan, yang
di laksanakan oleh Prodi Sejarah FIB UGM. Disebutkan bahwa Kompeni
berkolaborasi dengan kekuatan Islam mengebiri kekuasaan Hindu dengan
menciftakan system administrasi yang baru. Terungkap juga bahwa banyak penduduk
Banyuwangi yang dipaksa untuk memeluk agama Islam yang didukung oleh Sultan
Agung untuk menciftakan dunia Islam diseluruh pulau Jawa.
Lebih dari seabad yang
lalu ditahun 1900 – 1908 seorang tokoh yang bernama Kiai Madrais di buang oleh
pemerintah kolonial Belanda ke Tanah
Abang Papua karena tuduhan mengembangkan ajaran sesat. Ajaran Madrais sebenarnya mengutamakan ciri
kepribadian orang sunda yang welas asih, hidup selaras dengan alam, bertata krama,
dan berbudi pekerti yang baik. Nilai-nilai masyarakat agraris bertentangan
dengan nilai eksploitatif dan diskriminatif yang diusung Belanda (Kustiasih:
2012). Pengikut Madrais menentang
kebijakan sistem tanam paksa di Cirebon kala itu. Hal ini membuat berang pemerintah Belanda yang berujung
pada pembuangan terhadap penyebar ajaran Madrais
yaitu seorang tokoh kharismatik Kiai Madrais.
Kembali kepersoalan
jati diri, banyak orang yang mengatakan bahwa Bangsa Indonesia telah kehilangan
jati dirinya. Jika hal ini benar kita sebagai warga Negara mesti mencari dan
menemukan jati diri Bangsa yang sebenarnya dan melepas jati diri kita yang
semu. Pertanyaannya kemudian adalah seperti apa jati diri Bangsa Indonesia yang
sebenarnya? Pencarian jati diri ini mungkin bisa dirunut dari sejarah sejak
kapan kita kehilangan jati diri Bangsa. Bila mengacu pada pernyataan bahwa
bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki jati diri, maka jelas bahwa kita
kehilangan jati diri sejak bangsa kita tidak lagi besar, tidak lagi dikagumi
bangsa lain atau bahkan oleh rakyatnya sendiri. Satu-satunya masa kejayaan
Nusantara adalah pada masa kerajaan Majapahit. Saat itulah bangsa kita
benar-benar memiliki jati diri. Namun sejak runtuhnya Majapahit, jati diri
Bangsa mulai memudar. Masa ini dalam Dwijendra Tatwa disebut sebagai dimulainya
zaman Kaliyuga di Nusantara. Perlawanan Dang Hyang Dwijendra (Seorang putra
Rohaniawan di Kerajaan Majapahit) melawan perubahan zaman memaksa ia harus
meninggalkan tanah Jawa (yang mulai meninggalkan kebudayaan sendiri dan meniru
budaya bangsa lain), dan mempertahankan tradisi dan budaya leluhur di pulau Bali
dan sebagian di Lombok.
Jati diri Bangsa kalau
dilihat pada zaman Majapahit adalah Bangsa yang tidak membedakan rakyat apakah
ia pemuja Siwa ataupun Budha, tidak ada agama yang sesat. Sebuah bangsa yang
menjungjung tinggi tradisi luhur bangsa yang dijiwai ajaran Bagawad Gita bahwa
bila tradisi telah ditinggalkan maka kehancuran pasti akan segera datang.
Bentuk-bentuk perjuangan melepaskan jati diri semu seperti menghidupkan kembali
tradisi Seren Taun, Aruh, Ngusaba,
serta tradisi lainnya di berbagai daerah di Indonesia merupakan fenomena
kebangkitan kembali masa-masa kejayaan Majapahit yang diiringi dengan
ditemukannya kembali candi-candi dan bukti peninggalan sejarah lainnya di tanah
Jawa juga Sumatra dan Kalimantan.
*( Mahasiswa
PascaSarjana UGM)